Kelas XII IPA 1 dibagi menjadi 6 kelompok. Kemudian diberi tugas untuk membuat power point dari sebuah cerpen, serta mendiskusikan unsur intrinsik dan ekstrinsiknya. cerpen tersebut berjudul "Air Mata Tahajud" cerpen karya Ibu Uswatun Hasanah, S.Pd, M.Pd, yang tak lain beliau adalah guru bahasa indonesia kami.
Berikut adalah cerita dari cerpen tersebut.
Berikut adalah cerita dari cerpen tersebut.
Air Mata Tahajud
Oleh: Uswatun Hasanah
Sambut puasa tahun ini serasa beda banget. Ini kali ke dua aku
menjalani puasa tanpa kehadiran ibuku. Ini kali kedua pula lebaran tanpa
surgaku. kubersihkan setiap rumput yang ada di sekitar makam Ibu, sesekali ku
usap peluh di keningku. Aku tak perduli
dengan panas yang menyengat, terik matahari memang luar biasa hari ini, disaat aku ziarah makam ibuku, yang sudah
berpulang dua tahun yang lalu.
Namaku Yusuf. Aku lahir dari tujuh bersaudara. Aku adalah anak bontot,
atau ragil. Tak heran jika aku begitu dekat dengan Alm. Ibuku, seorang
wanita sederhana yang mungkin bukansiapa-siapa bagi orang lain, tetapi bagiku,
Alm. Ibu lebih dari sekadar permata maupun
berlian.
Ingin rasanya kuhabiskan hari ini disini,
karena aku enggan beranjak. Ingin aku bercerita pada dunia, betapa Ibuku adalah malaikat bagiku. Beliau
bukan seorang artis, bukan seorang Ustadzah, bukan pula cucu Kyai. Namun
kebesaran kuasa Allah telah ditunjukkan dengan mukjizat-mukjizat yang di alami
Ibu semasa hidupnya.
Sudarmi, begitu sederhana nama itu. Nama
seorang Ibu yang jelas sekali dari namanya dia adalah anak seorang petani,
berasal dari kampung, paling pentok aktivitasnya adalah berladang dan berdagang. Ibuku memang
seorang pedagang telur asin yang menjual dagangannya hingga ke kota Atlas.
Berangkat Subuh dengan membawa dagangannya, naik
Colt T bak terbuka yang penuh sesak dengan penumpang dan dagangan. Sore
hari baru pulang dengan membawa ikan asin sebagai dagangan yang akan dijual di
pasar desa kami. Rutinitas itu sudah dijalaninya tanpa mengeluh, tanpa
keterpaksaan, semua dilandasi keikhlasan demi membantu ekonomi keluarga.
Cobaan sekaligus Mukjizat itu dialami Ibu
ketika aku SD kelas 6. Ibu yang biasanya bangun subuh, tanpa suara dan
kebisingan, pagi ini mulai batuk-batuk kecil. Bapak yang biasa menemani Ibu
menata dagangan, sempat bertanya. “Mbok istirahat bune, kamu itu kecapean, sudah ndak usah ngoyo, urip sak madyone wae, sing penting isih iso mangan, lan
ngragati sekolah bocah-bocah”
begitu Bapak menasihati Ibu sambil memasukkan telur asin ke dalam senik
besar yang akan dibawa ke Semarang.
“Mboten nopo-nopo pak, niki mboten ngoyo
kok, sedoyo linambaran iklas, malah
kersane srawung kalih tiyang sanes, awet nom, awet sehat. Wong niki namung watuk
biasa mawon. Pun musime watuk”,
begitu Ibu selalu beralasan kepada Bapak.
Aku selalu mendengarkan percakapan itu dalam kenikmatan tidur selepas Sholat
Subuh. Tetapi, suara kesunyian subuh yang
biasanya diwarnai suara jangkrik, hiruk pikuk Ibu memasak, kini seringkali
diwarnai suara batuk Ibu yang lama-lama membuat hati ini gelisah. Ibu kalau
sudah batuk, tidak pernah berhenti sebelum kecapean atau muntah-muntah. Namun
lagi-lagi Ibu selalu menjawab
kalau Ia tidak apa-apa, masuk angin, salah minum, atau alasan-alasan yang lain yang sekiranya
menurut beliau bisa menenangkan suami dan ketujuh anaknya.
Waktu itu sekitar tahun 1979, usiaku waktu itu sekirar 10 tahun,
ketika aku kelas 5 SD. Masih ku ingat dalam memoriku, Ibu batuk sudah
mengeluarkan darah setelapak tangan dan itu tidak
hanya sekali dua kali dalam sehari. Semua itu mengharuskan Ibu tak bisa menolak ajakan Bapak untuk ke dokter.
Pagi itu terpaksa Ibu menurut. Dengan meminjam mobil tetangga,
Ibu dibawa berobat ke RSI Klaten. Aku ikut mengantar,
karena aku memang anak terkecil, dan sangat dekat dengan Ibu. Pemeriksaan demi
pemeriksaan dilakukan. Dan sampailah vonis itu ke telinga Bapak. Saat dokter muda itu, dokter Fajar namanya, memanggil
Bapak ke ruang konsultasi. Sementara Ibu
masih di ruang perawatan.
“Bapak, mohon bersabar ya… semua ujian
datangnya dari Allah, untuk membuat manusia semakin kuat dan tawakal. Tidak ada sakit yang tidak ada obatnya, tidak ada
kesembuhan yang diraih tanpa usaha. Ibu
Sudarmi menderita paru-paru, dan ada lobang selebar dua jari di paru-paru Ibu” Kata dokter Fajar sambil menunjukkan
hasil ronsen kepada Bapak dan Ibu.
“dokter, terus ini sayaharus bagaimana ?”,
tanya Bapak diantara keterkejutanya. Meskipun Bapak adalah seorang Kadus, bapak awam sekali urusan
begituan.
“Istri Bapak harus dirawat di rumah sakit, dan mendapatkan perawatan
intensif di ruang isolasi. Penyakit Ibu penyakit
menular Pak,” jelas dokter muda itu kepada Bapak.” Kalau dilihat dari kasus Ibu, kemungkinan usia Ibu tak akan
lama lagi. Lobang di paru-paru itu sudah
parah, dan tidak mungkin bisa sembuh. Maksimal 3 bulan sudah luar biasa pak, oleh karena itu, secepatnya harus
ditangani. Kalau tidak segera dirawat, mungkin
satu bulan saja Ibu sudah tidak ada”, jelas dokter Fajar itu dengan sungguh-sungguh.
Kulihat Bapak melangkah gontai menuju ruang tunggu. Sebentar
kemudian Ibu keluar dengan didudukkan dikursi roda oleh perawat.
“Kulo sakit nopo pak ? watuk biasa mawon
to ?”, tanya Ibuk tetapi dengan
wajah yang justru tidak setegang Bapak.
“Wis ayo gek mulih bu, sarapan sik, trus
ngombe obate, mugo-mugo gekmari”, begitu Bapak berusaha menenangkan hati
Ibu.
Sesampainya dirumah, Ibu masih dengan rutinitas akan memasak dan
bersih-bersih rumah. Namun bapak langsung
menarik tangan Ibu dengan lembut, sambil berkat “wis lereno disik bu, nggo
istirahat, ben ndang mari. Ora sah mikir gawean omah, paling ora dino iki”, Ibu pun menurut, karena tak pernah sekali pun
kudengar Ibu tak mengindahkan kata-kata Bapak.
Malam itu bapak mengumpulkan semua anak-anaknya, dan beberapa
saudara, termasuk pakde dan bulik.
Meskipun aku masih kecil, aku mampu menyimak dengan segala keterbatasan anak kecil. Malam itu bapak menyampaikan
penyakit ibu pada semua saudara dan ketujuh
anak-anaknya. Bagaimana harus bersikap dan bertindak. Dikeluarga kami memang sudah jadi budaya untuk mengambil
keputusan lewat musyawarah.
Seluruh keluarga menyarankan Ibu dirawat di RSI Klaten, dan berangkat
besuk pagi. Itulah keputusan rapat. Namunsemua terhenyak ketika Ibu tiba-tiba
berbicara .
“Bapak, mbak, mas, thole, genduk, Ibuk
ngerti nek Ibuk iki loro, nanging Ibuk emoh di opname, ora mergo opo-opo,
ananging Ibuk yakin, nek wis dadi perthine
Gusti Allah, ora usah loro, mesti kapundut. Umpomo pancen wektuku iki mung kri sedelo maneh, aku ora
pengenngentekne wektu neng rumah sakit, ben wae sisa uripku tak nggo ngabekti
marangbojo, lan ngrawat anak-anak, ben dadi wong kang pangkat lan drajat
donyoakhirat…..”, dan masih banyak lagi alasan Ibu yang menolak di ajak ke
rumahsakit. Karena di rumah sakit Ibu harus dirawat di ruang Isolasi, dan
tidakboleh dijenguk sembarang orang.
Akhirnya Ibu tidak dirawatdi rumah sakit.
Ibu rawat jalan, dengan biaya yang tidak sedikit. Sebelum divonistiga bulan,
dalam seminggu, kalau untuk obat saja Rp. 150 ribu, setara dengan panen padi 1,5 patok. Jika di kurs
rupiahkan sekarang, sekitar Rp. 75 jutas eminggu.
Pada waktu itu, yang menjadi andalan ekonomi keluarga kami adalah ternak ayam kampung. Perekonomian keluarga
kami sempat timpang dan berantakan. Sampaiakhirnya Ibu tak mau lagi konsumsi
obat. Kata beliau “ nek iso tuku telung sasi, ora wurug aku mati, lan
ninggal utang akeh,mulane aku pasrah marang gusti, wis ora usah ditebus obate,
ben ora mbebanianak putu, tapi yen aku isih urip, keno kanggo mulyakne anak”,
begitulah pemikiran Ibuku yang
luar biasa itu.
Di rumah Ibu mendapat perlakuan khusus, semua barang yang dia
sentuh, tidak boleh digunakan orang lain.
Mulai dari pakaian, piring, gelas, dll, semua harus steril dan tidak disentuh
orang lain, maupun Ibu tak boleh menyentuh barang selain barangnya.
Hari demi hari dilalui seperti biasa, ibuku
yang luar biasa meski dengan itu masih dengan ketekunanibadah dan tak putus
Sholat Tahajud. Dalam setiap tengadah tangannya, dia berharap kesembuhan, dan
memohon pada Allah tuk mampu dampingi putera-puterinya di sisa usia yang menurut dokter maksimal
tiga bulan bertahan.
Suatu sore Ibu duduk diberanda ruangan
sambil menyuapiku dan mengawasi kakak-kakakku yang sedangbermain di teras, saat
itu datang seorang pengemis meminta uang pada Ibu, sebentar kemudian Ibu masuk
rumah dan mengambilkan selembar uang kertas 2 ribuan (saatitu uang 2 ribu
senilai 20 ribu saat ini). Kami terkaget- kaget
penuh tanya,seakan paham akan keheranan kami, Ibu berkata “ le, tangan neng
nduwur luwih mulyo tinimbang tangan neng ngisor. Durungkaruan sing pengemis kui
dudu ahli surga, durung karuan sing sugih kui ahlisurga, mulane ojo pamrih nek
menehi wong sing luwih ora nduwe, ben ganjarane akeh, lan rejekine berkah”.
Meskipun keluarga kami bukan keluarga kaya, Ibu selalu mengajarkan
bershodaqoh. Sebagai contoh, Ibu selalu menafkahi janda dan anak yatim piatu di
desa kami, yang jumlahnya tidak sedikit.
Itulah mulianya hati Ibuku.
Hari demi berlalu, minggu demi minggu
berjalan, dan enam bulan sudah Ibu berada di rumah dengan penyakit kronis
bersarang ditubuhnya. Ibadah sholat tahajud pun tak pernah lepas beliau
lakukan. Namun yang kami lihat bukannya tubuh Ibu makin kurus dan terkapar sakit, tetapi justru Ibu tampak sehat
walafiat, bahkan tampak bugar. Batuk yang dulu
selalu menyiksa Ibu, tanpa kami sadari telah lama tak kami dengar.
Hari itu adalah jadwal Ibu kontrol ke RSI Klaten. Dengan ditemani
Bapak, dan lagi-lagi aku ikut, kami masuk
ruang dokter internis muda yang bernama Fajar, sekarang tampak lebih gendut itu (mungkin karena hidupnya makmur)
. Kembali Ibu dironsen dan dicekini-itu. Selang beberapa jam kemudian, kami
dipanggil ke ruang dokter.
Aku duduk dipangku Ibu, dan Papak duduk di sebelah Ibu. Sejenak dokter
Fajar itu memandang tajam ke arah Ibu,
seakan tak percaya akan apa yang dia lihat.
“Bu Darmi, semakin segar saja ya ? bagaimana perasaannya bu?”, tanya
dokter.
“Alhamdulillah saya merasa lebih baik pak dokter, seandainya memang
penyakit saya tidak bisa disembuhkan, saya
pasrah kok pak, wong hidup manusia itu kan sudah di tangan Gusti Allah, dalem
siap nampi kasunyatan ”, kata Ibu namun dengan bahasa jawa kental.
“Ibu melakukan apa saja ketika dirumah ? pengobatan alternatif,
atau berobat kemana gitu ?”.
“Istri saya tidak berobat kemana-mana pak, dia seperti biasa merawat
anak, dan tahajud tanpa putus setiap malam”.
Jawab bapak mewakili Ibu.
“saya selalu mohon pada gusti Allah dalam setiap Sholat Tahajud,
mengadu pada Gusti, bahwa hidup saya untuk
beribadah, dan berdoa supaya anak cucu saya hidup mulia. Jika saya meninggal semoga tidak merepotkan mereka,
pak dokter”, Sambut Ibu pada dokter Fajar.
“Luar biasa bu. Baiklah Bapak, Ibu, saya akan membacakan hasil
pemeriksaan hari ini. Seperti yang saya sampaikan
dulu, bahwa usia Ibu, secara medis hanya mampu bertahan maksimal 3bulan. Tapi
kebesaran dan Allah benar-benar ditunjukkan Allah melaui mukjizat yang diberikan pada Ibu.
Doa Ibu dalam setiap Tahajud, dijawab Allah
dengan
sesuatu yang luar biasa. Hasil
tes kesehatan Ibu Darmi, membuat saya tidak percaya”.
“Apa saya sudah akan mati pak dokter ?”, tanya ibu menyela
pembicaran.
“ Bukan bu, justru sebaliknya. Penyakit paru-paru Ibu, dan
lobang di paru-paru Ibu, sudah sembuh total.
Dan ini sulit diterangkan dengan logika. Kekuatan doa Ibu benar-benar mampu menyirnakan segala penyakit dalam
tubuh Ibu. Kekuatan kasih sayang Ibu pada
keluarga, membantu Ibu termotivasi untuk terus sembuh. Selamat ya bu, pak, saat ini Ibu dinyatakan sembuh total”, kata
pak dokter sambil menahan tetesan air
mata.
Seketika bapak yang sebelumnya tidak pernah aku lihat memeluk Ibu, saat
itu memeluk erat menciumi kening sambil
berlinang air mata, lalu bersimpuh dan bersujud di lantai sambil berkata“
terima kasih ya Allah, kau kembalikan Istriku sehat seperti sediakala, tiada kekuatan hebat selain kekuatan Allah. Tidak
ada yang tidak mungkin di dunia ini bagi
Allah”.
Ibu pun menengadahkan tangan sambil berlinang air mata. Akhirnya
tangispun pecah di runag kecil itu. Dokter Fajar
yang sejak tadi menahan tangis, ikut terbawa arus, dan memeluk Bapak serta Ibu.
“Subhanallah, ini murni kuasa Tuhan. Tidak ada yang tidak mungkin
jika Allah menghendaki”, kata dokter Fajar
diantara keharuan di ruang tersebut.
Ibu pun sehat seperti sedia kala. Seluruh keluarga berbahagia,
dan tiada henti mengucap syukur. Bapak berkeinginan
menggelar pesta tasyakura atas kesembuhan Ibu. Namun masih dengan kerendahan hatinya, Ibu melarang, lebih
baik harta yang akan digunakan untuk pesta
tasyakuran, disumbangkan kepada fakir miskin, yatim piatu dan janda didesa
kami.
Ketika saya sudah dewasa, saya sempat bertanya pada Ibu, “ apa sih
manfaat Sholat Tahajud?”,
Ibu menjawab sambil membelai lembut kepalaku, “manfaat Tahajud
banyak le, Sholat Tahajut membuat seseorang lebih rendah hati, seperti
firman
Allah SWT yang artinya :“Dan
hamba-hamba Tuhan yang Maha
Penyayang itu adalah orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang
jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan
kata-kata yang baik. Dan orang yang melalui malam hari dengan sujuddan berdiri
untuk Tuhan mereka”
“Manfaat kedua Akan menjadikan pelakunya sebagai orang yang
selalu mensyukuri nikmat Allah SWT. Manfaat ketiga
Dapat melepaskan simpul godaan syaitan (mengusir syaitan) serta menjadikan badan segar dan penuh semangat.
Sebagaimana sabda Nabi SAW yang artinya:
“Pada waktu seseorang tidur, syaitan
membuat tiga buah simpul dikepalanya. Untuk setiap ia mengatakan : “tidurlah engkau sepanjang malam, bila ia
terbangun, lalu menyebut nama Allah, maka lepaslah satu simpul, Jika ia berwudhu, maka lepaslah
satu simpul lagi, dan
jika ia shalat, maka terbukalah seluruh simpul. Pada waktu bangun lagi,ia akan merasa penuh semangat dengan badan
yang segar. Jika tidak, ia akan bangun pagi dengan perasaan serba tak enak dan malas”. Kuingat kata-kata Ibu dalam memori anak kecil yang penuh rasa ingin
tahu itu.
Tahajud memang membuat Ibu terhindar dari penyakit yang mematikan.
Kini Ibuku tercinta telah berpulang keharibaan
Allah SWT, beliau meninggal sudah menyandang gelar Hajjah. Namun bukan karena sakit paru-parunya, tetapi
Insyaallah meninggal Khusul Khotimah. Beliau meninggal
dalam kesucian, selepas Sholat Tarawih, masih menggunakan Mukena dan memengang Tasbih, dalam usia 78 tahun.
Subhanallah. Aku bangga memiliki Ibu yang
luar biasa. Dua tahun sudah Ibu meninggalkan kami. Putera-putrinya telah sukses sesuai doa beliau di setiap tengadah
tangannya.
“Pah, kok lama banget sih,Cantika sudah
menunggu lama di luar”, suara kecil itu membangunkanku dari kesadaran. Putriku Cantika menyusulku ke
pemakaman. Segera kupeluk putriku tersayang, dalam hati aku berdoa” ya Allah,
jadikan putri kami wanita Sholehah yang
bisa menjadi panutan kaumnya.”
Segera aku gendong putri kecilku
meninggalkan area pemakaman itu, sambil sesekali kutengok makam Ibu, ternyata lama sekali aku tadi terpekur
mengenang Ibu di pemakaman Ibu.
Dalam hati kusisipkan doa “Ibu, tanpamu aku bukan siapa-siapa, karena
Doamu, kini aku mampu berdiri tegak dimuka bumi, ya Allah, tempatkan Permataku
disisimu selayak Iya mengabdi tulus kepadamu di seluruh hidupnya. Amin.
Sabtu, 28 September 2013
0 komentar: